Kamis, 14 Juli 2011

REKAPITULASI NILAI MATA KULIAH TEORI SASTRA KELAS C.6.4 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA FKIP UNIVERSITAS BATURAJA

NO NO. POKOK NAMA MAHASISWA NILAI

1 1021214 MARDIANA B
2 1021012 P NASRIANA B
3 1021013 P RISKA DIANA NITA B
4 1021075 ANGGI SUBAGIO A
5 1021024 P RISMAWATI B
6 1021029 P NORALIA SAFITRI B
7 0921026 P SARIANA B
8 1021004 P SURYATI A
9 1021019 P DEDI PUTRA A
10 0921050 P ADISKA C
11 1021003 P NURHAZANAH B
12 1021030 P DEDI SAPUTRA B

REKAPITULASI NILAI MATA KULIAH TEORI SASTRA KELAS C.2.2 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA FKIP UNIVERSITAS BATURAJA

NO NO. POKOK NAMA MAHASISWA NILAI

1 1021219 LINA ROSLIANA B
2 1021209 SUSANTI B
3 1021072 ELFARIA B
4 1021231 ENI ARTIKA SARI C
5 1021241 SITI HODIJAH B
6 1021235 FITRI WIDIANTI B
7 1021240 RIKA ASTUTI C
8 1021181 AJENG SRI RASPATI SYAM B
9 1021181 ZAKIYA MUNAWAROH B
10 1021173 LENA A
11 1021237 PRAMITA LIDYA M A
12 1021221 EVA SUSANTI B
13 1021227 MARIA ANJELINA B
14 1021193 SYARKOMI C
15 1021242 INTAN NANDA HATI B
16 1021212 WIDIA WATI B
17 1021228 DESI TERTINA B
18 1021176 HARTATI B
19 1021194 TIYAH SUHAINI B
20 1021022 ALEN VANLINDRI C
21 1021170 DESI HAYANI B
22 1021174 RENI KOSYANA C
23 1021243 AUDETA RHOMADONA C
24 1021177 LENI APRIANI B
25 1021225 MARTINA B
26 1021224 TRI ELNI MARADONA B
27 1021189 NURPAJERIATI C
28 1021223 JONI YANSAH C
29 1021063 NOVAN ANDYPRAYOGA C
30 1021233 PENI SARTIKA SARI C

REKAPITULASI NILAI MATA KULIAH TEORI SASTRA KELAS C.2.1 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA FKIP UNIVERSITAS BATURAJA

NO NO. POKOK NAMA MAHASISWA NILAI

1 1021132 OKTA RUKMANA B
2 1021121 AYU INTAN PUTRI B
3 1021059 HIBICUS NILA MURICATA A
4 1021159 SELVIA KASTURI B
5 1021103 HERAWATI A
6 1021144 LELY YULIANINGSIH C
7 1021060 RITA WATI C
8 1021088 DIAN MAYA SARI B
9 1021046 IPANDERA C
10 1021248 ZULKORNAIN B
11 1021146 BAYINAH SABIHATUL H B
12 1021105 DWI SUSANTI B
13 1021218 EKA SAPTA APRILIA B
14 1021102 NETA RATU FITRIA B
15 1021031 OLGA ANGGUN KHARISMA LESTARI B
16 1021201 WAHYUONO B
17 721152 CIK YAM C
18 1021029 DORIS VANHOUTENZ C
19 1021128 AHMAD AULANI B
20 1021005 WARNI ROHATI B
21 1021006 YENNI SIFTRIANI C
22 1021112 ANA DWITIA B
23 1021032 M. F. PUTRI PERMATA SARI B
24 1021162 ARSIH C
25 1021086 YANTRA VOLTA ESTARIKO B
26 1021023 P FIRMAN ALI B
27 1021247 RIMBAWAN C
28 1021129 TOHER B
29 1021126 DAHLIA C
30 1021152 DEVI SAPUTRA C
31 1021006 P YULI RATNA SARI C
32 1021098 ANGGA ADI SAPUTRA C

REKAPITULASI NILAI MATA KULIAH KOMPUTER MULTIMEDIA KELAS C.6.4 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA FKIP UNIVERSITAS BATURAJA

NO NO. POKOK NAMA MAHASISWA NILAI

1 821104 IDA ROYANI B
2 821025 SISKA OKTRIYANI A
3 821340 MARYAMAH B
4 821211 LIDIA NOVITA A
5 821131 WIWIDRA SEFTARIA A
6 821003 YATRI YUNITA C
7 721152 CIK YAM C
8 0821087 P HUSIN ABRAHAM A
9 0821099 P NIZARIANAH B
10 821317 EMA ARNANI B
11 821337 SUSI SUSANTI C
12 0821077 P JELIUS B
13 0821102 P YOSI GUSTINI C
14 821253 DIAN TRISIA ASTUTI C
15 821297 LIZA WATI C
16 821127 PUJI SITI AMINAH B
17 821326 SHERLY NOVRIYANTI B
18 821258 HERNI YUNITA A
19 821232 ISTILYAH B
20 821223 LINA APRIYANTI C
21 821246 MAYA ANJER WULAN B
22 821180 IMAM FADHOLI B
23 0921059 P VERA GUSTINI ROSA C

REKAPITULASI NILAI MATA KULIAH KOMPUTER MULTIMEDIA KELAS B.6.2 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

REKAPITULASI NILAI MATA KULIAH KOMPUTER MULTIMEDIA
KELAS B.6.2 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
FKIP UNIVERSITAS BATURAJA

NO NAMA MAHASISWA NILAI

1 YENI DIANSARI A
2 MARIA A
3 RINI A
4 HERLIA AFRIANTI A
5 EMA YULIASARI A
6 ERMI NENGSI A
7 DESTA NATALIA B
8 ANI MARTINI A
9 PUJI LESTARI A
10 EKI MONIKA SARI A
11 TRI SETIANINGSIH A
12 SARI ADRIYANTI A
13 LINDA APRIANTI B
14 WIDYA SEVTYANI A
15 RIYA WATI A
16 RENI MARLINA A
17 DEVI YULIANTI A
18 ERNITA SARI R E A
19 HELDA B
20 MELISA MANDASARI A
21 HESTI APRILIA A
22 FITRI KURNIATI B
23 HERNOMO A
24 EMA OKTAVIANI B
25 ELPIYANI B
26 AR RAHMAN B
27 JULIAN AZRARI C
28 LEGA WATI A
29 HOIRUL ANMADI B
30 HIRIZON B

Senin, 02 Mei 2011

CARA CEPAT MENGETIK TANPA MOUSE

NO CARA CEPAT URAIAN
1 Cltr + A Blok seluruh tulisan
2 Cltr + B Membuat Bold (hitam)
3 Cltr + C Copy tulisan
4 Cltr + D Mengubah tulisan (font)
5 Cltr + E Menengahkan tulisan
6 Cltr + F Find, menemukan data dalam satu file
7 Cltr + G Cara cepat menuju ke halaman berikutnya/yang diinginkan
8 Cltr + H Replace, mengganti tulisan
9 Cltr + I Memiringkan tulisan
10 Cltr + J Meratakan tulisan kiri kanan
11 Cltr + K Insert hyperlink
12 Cltr + Shift + L Membuat bullet
13 Cltr + M Membuat alinea (Tab)
14 Cltr + N Menambah file baru (new)
15 Cltr + O Membuka document lain
16 Cltr + P Mencetak (print)
17 Cltr + R Membuat tulisan ke arah kanan
18 Cltr + S Menyimpan data (save)
19 Cltr + U Menggarisbawahi tulisan (underline)
20 Cltr + V Paste tulisan (setelah Cltr + C)
21 Cltr + W Menutup document
22 Cltr + Z Undo, mengembalikan ke posisi sebelumnya
23 Cltr + 1 Spasi 1
24 Cltr + 2 Spasi 2 (double)
25 Cltr + 5 Spasi 1,5
26 Cltr + { Mengecilkan tulisan
27 Cltr + } Membesarkan tulisan
28 Cltr + Shift + Membuat tulisan berada diatas (Ex: O2)
29 Shift + F3 Mengubah tulisan menjadi kapital, kecil, dan gabungan
30 Cltr + Alt + Del Mematikan program, apabila ngehank (End Task)

Minggu, 10 April 2011

DIKSI ATAU PILIHAN KATA

1. Pengertian Diksi

Diksi adalah pilihan kata. Maksudnya, kita memilih kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. Pilihan kata merupakan satu unsur sangat penting, baik dalam dunia karang-mengarang maupun dalam dunia tutur setiap hari. Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Selain itu, pemilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu.

Penggunaan ketepatan diksi ini dipengaruhi oleh kemampuan pengguna bahasa yang terkait dengan kemampuan mengetahui, memahami, menguasai, dan menggunakan sejumlah kosa kata secara tepat sehingga mampu mengomunikasikannya secara efektif kepada pembaca atau pendengarnya. Indikator ketepatan pilihan kata ini antara lain:

1). Mengomunikasikan gagasan berdasarkan pilihan kata yang tepat dan sesuai berdasarkan kaidah bahasa Indonesia.

2). Menghasilkan komunikasi puncak (yang paling efektif) tanpa salah penafsiran atau salah makna.

3). Menghasilkan respon pembaca atau pendengar sesuai dengan harapan penulis atau pembicara.

4). Menghasilkan target komunikasi yang diharapkan.

Selain pilihan kata yang tepat, efektivitas komunikasi menuntut persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengguna bahasa, yaitu kemampuan memilih kata yang sesuai dengan tuntutan komunikasi.

Syarat-syarat ketepatan pilihan kata atau diksi:

  1. Membedakan makna denotasi dan konotasi dengan cermat, denotasi yaitu kata yang bermakna lugas dan tidak bermakna ganda. Konotasi dapat menimbulkan makna yang bermacam-macam, lazim digunakan dalam pergaulan, untuk tujuan estetika, dan kesopanan.
  2. Membedakan secara cermat makna kata yang hampir bersinonim. Kata yang hampir bersinonim, misalnya: adalah, ialah, yaitu, merupakan, dalam pemakaiannya berbeda-beda.
  3. Membedakan makna kata secara cermat kata yang mirip ejaannya, misalnya inferensi (kesimpulan) dan interferensi (saling mempengaruhi), sarat (penuh, bunting) dan syarat (ketentuan).
  4. Tidak menafsirkan makna kata secara subjektif berdasarkan pendapatnya sendiri, jika pemahaman belum dapat dipastikan. Pemakai kata harus menemukan makna yang tepat di dalam kamus, misalnya: modern sering diartikan secara subjektif canggih. Menurut kamus, modern berarti terbaru atau mutakhir; canggih berarti banyak cakap, suka mengganggu, banyak mengetahui, bergaya intelektual.
  5. Menggunakan imbuhan asing (jika diperlukan) harus memahami maknanya secara tepat, misalnya dilegalisir seharusnya dilegalisasi, koordinir seharusnya koordinasi.
  6. Menggunakan kata-kata idiomatik berdasarkan susunan (pasangan) yang benar, misalnya sesuai bagi seharusnya sesuai dengan.
  7. Menggunakan kata umum dan kata khusus secara cermat. Untuk mendapatkan pemahaman yang spesifik karangan ilmiah sebaiknya menggunakan kata khusus, misalnya; mobil (kata umum) corolla (kata khusus, sedan buatan Toyota).
  8. Menggunakan dengan cermat kata yang bersinonim (misalnya pria dan laki-laki, saya dan aku, serta buku dan kitab); berhomofon (misalnya: bang dan bank); dan berhomografi (misalnya apel buah, apel upacara).
  9. Menggunakan kata abstrak dan kata kongkret secara cermat, kata abstrak (konseptual, misalnya pendidikan, wirausaha, dan pengobatan modern) dan kata konkret atau kata khusus (misalnya: mangga, sarapan, dan berenang).

Selain ketepatan pilihan kata, pengguna bahasa harus pula memperhatikan kesesuaian kata agar tidak merusak makna, suasana, dan situasi yang hendak ditimbulkan atau suasana yang sedang berlangsung. Syarat kesesuaian kata adalah:

  1. Menggunakan ragam baku dengan cermat dan tidak memcampuradukkan penggunaanya dengan kata tidak baku yang hanya digunakan dalam pergaulan, misalnya hakikat (baku), hakekat (tidak baku), konduite (baku) kondite (tidak baku).
  2. Menggunakan kata yang berhubungan dengan nilai sosial dengan cermat, misalnya kencing (kurang sopan) dan buang air kecil (lebih sopan), pelacur (kasar) dan tunasusila (lebih halus).
  3. Menggunakan kata berpasangan (idiomatik) dan berlawanan makna dengan cermat, misalnya: sesuai bagi (salah), sesuai dengan (benar), bukan hanya... melainkan juga (benar), bukan hanya ... tetapi juga (salah), tidak hanya ... tetapi juga (benar).
  4. Menggunakan kata dengan nuansa tertentu, misalnya: berjalan lambat, mengesot, dan merangkak; merah darah, merah hati.
  5. Menghindarkan penggunaan ragam lisan (pergaulan) dalam bahasa tulis, misalnya: tulis, baca, kerja (bahasa lisan) à menulis, menuliskan, membaca, membacakan, bekerja, mengerjakan, dikerjakan (bahasa tulis).

2. Kesalahan Diksi dalam Kalimat

Di dalam kenyataannya tidak sedikit ditemukan kalimat tidak gramatikal yang disebabkan oleh penggunaan kata/pemilihan kata secara tidak tepat. Di dalam penyusunan kalimat diperlukan kecermatan dalam memilih kata supaya kalimat yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai kalimat yang benar. Jadi, kesalahan diksi ini meliputi kesalahan kalimat yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan kata. Berikut dikemukakan beberapa kesalahan diksi yang ada dalam kalimat.

2.1 Pemakaian Kata yang tidak Tepat

Ada beberapa kata yang digunakan secara tidak tepat. Kata dari dan daripada sering digunakan secara tidak tepat. Contoh:

- Hasil daripada penjualan saham akan digunakan untuk memperluas bidang usaha.

- Hasil penjualan saham akan digunakan untuk memperluas bidang usaha.

Kalimat di atas seharusnya tanpa kata daripada karena kata daripada digunakan untuk membandingkan dua hal. Misalnya, tulisan itu lebih baik daripada tulisan saya. Di dalam kalimat berikut pun terdapat kesalahan diksi, yaitu:

- Sebagian dari kekayaan pengusaha itu diserahkan kepada yayasan yatim piatu.

2.2 Penggunaan Kata Berpasangan

Ada sejumlah kata yang penggunaanya berpasangan (disebut juga konjungsi korelatif), seperti baik ... maupun..., bukan ... melainkan ..., tidak ... tetapi..., antara ... dan .... Di dalam contoh berikut dikemukakan pemakaian kata berpasangan secara tidak tepat.

- Baik pedagang ataupun konsonan masih menunggu kepastian harga sehingga tidak terjadi transaksi jual beli.

- Bukan harga sembilan bahan pokok yang mengalami kenaikan harga tetapi harga produk yang menggunakan bahan baku impor

- Sebagian pedagang tidak menaikkan harga melainkan menimbun sebagian barang dagangannya sampai ada ketentuan beberapa persen kenaikan harga dapat dilakukan.

- Antara kemauan konsumen dengan kemauan pedagang terdapat perbedaan dalam penentuan kenaikan harga.

Perbaikan kalimat di atas:

- Baik pedagang maupun konsumen masih menunggu kepastian harga sehingga tidak terjadi transaksi jual beli.

- Bukan harga sembilan bahan pokok yang mengalami kenaikan melainkan hasil produksi yang menggunakan bahan bakar impor.

- Sebagian pedagang tidak menaikkan harga tetapi menimbun sebagian barang dagangannya sampai ada ketentuan berapa persen kenaikan harga dapat dilakukan.

- Antara kemauan konsumen dan kemauan pedagang terdapat perbedaan dalam penentuan harga.

2.3 Penggunaan Dua Kata

Di dalam kenyataan terdapat penggunaan dua kata yang makna dan fungsinya kurang lebih sama. Penggunaan dua kata secara serentak ini tidak efisien. Kata-kata yang sering dipakai secara serentak itu, bahkan paad posisi yang sama, antara lain ialah adalah merupakan, agar supaya, demi untuk, seperti misalnya, atau daftar nama-nama. Contoh:

- Peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia adalah merupakan kewajiban kita semua.

- Agar supaya kita dapat mencapai hasil yang baik, marilah kita bermusyawarah dulu.

- Mulai sekarang marilah kita tingkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia demi untuk masa depan bangsa Indonesia.

- Peningkatan mutu tersebut memerlukan keterlibatan para ahli dalam berbagai bidang, seperti misalnya ahli kedokteran, ahli pendidikan, ahli komunikasi, dan lain-lain.

- Bersama surat ini saya lampirkan daftar nama-nama calon peserta penataran guru.

Perbaikan kalimat di atas adalah:

- Peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia adalah kewajiban kita semua.

- Peningkatan mutu penggunaan bahasa indonesia merupakan kewajiban kita semua.

- Agar kita dapat mencapai hasil yang baik, marilah kita bermusyawarah dulu.

- Supaya kita dapat mencapai hasil yang baik, marilah kita bermusyawarah dulu.

- Mulai sekarang marilah kita tingkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia demi masa depan bangsa Indonesia.

- Mulai sekarang marilah kita tingkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia untuk masa depan bangsa Indonesia.

2.4 Penghubung Antarkalimat dan Kata Maka

Kata maka sering menyertai ungkapan penghubung antarkalimat, seperti sehubungan dengan itu maka, oleh karena itu maka, dengan demikian maka, dan jika demikian maka. Sebagaimana pada contoh-contoh berikut ini:

- Sehubungan dengan itu maka suatu penelitian harus dibatasi secara jelas supaya simpulannya terandalkan.

- Oleh karena itu maka perencanaan penelitian harus disusun berdasarkan obsevasi lapangan.

- Dengan demikian maka rencana yang disusun dapat dilaksanakan dengan baik.

- Jika demikian maka penelitian tidak akan menemukan hambatan.

Contoh kalimat di atas banyak terdapat dalam ragam bahasa lisan. Kata maka pada kalimat-kalimat itu ditiadakan dan digunakan tanda koma karena kata maka tidak menyandang fungsi, atau unsur penghubung antarkalimat itu ditiadakan sehingga kata maka menjadi penghubung antarkalimat; dan susunan kalimat menjadi gramatikal.

2.5 Peniadaan Preposisi

Di dalam kenyataan penggunaan bahasa, orang sering tidak menyatakan unsur preposisi yang menyertai verba. Verba yang disertai preposisi itu kebanyakan berupa verba intransitif. Berikut dikemukakan beberapa contoh verba tanpa preposisi.

- Mereka pergi luar kota beberapa hari yang lalu.

- Mahasiswa di kelas ini terdiri 20 pria dan 25 wanita.

- Jumlah itu sesuai keadaan dan fasilitas yang tersedia.

- Penambahan daya tampung tergantung fasilitas yang tersedia.

- Kami tertarik kebijakan pimpinan fakultas dalam menangani meluapnya calon mahasiswa baru.

Verba pengisi predikat kalimat-kalimat tersebut perlu dilengkapi dengan preposisi sehingga menjadi lebih jelas pertalian maknanya dan kalimat di atas menjadi gramatikal.

- Mereka pergi ke luar kota beberapa hari yang lalu.

- Mahasiswa di kelas ini terdiri atas 20 pria dan 25 wanita.

- Jumlah itu sesuai dengan keadaan dan fasilitas yang tersedia.

- Penambahan daya tampung tergantung pada fasilitas belajar.

- Kami tertarik pada kebijakan pemimpin fakultas dalam menangani meluapnya calon mahasiswa baru.

Minggu, 27 Maret 2011

SOSIOLOGI SASTRA

SOSIOLOGI SASTRA

1. Pengantar

Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.

Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).

Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.

2. Sejarah Pertumbuhan

Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.

Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).

Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.

Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang haru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.

Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.

Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.

Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.

3. Teori Sastra Marxis

Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxisme. Kritikus-kritikus Marxis biasanya mendasarkan teorinya pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu mengakibatkan perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik. Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman -termasuk seni dan kesusastraan - merupakan 'ideologi-ideologi' dan 'suprastruktur-suprastruktur' yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya (Abrams, 1981:178).

Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang terus-menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas. Evolusi ini tidakberjalan dengan mulus melainkan penuh hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi pada akhirnya dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru perlu melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap masyarakat ideal tanpa kelas, yang dikuasai oleh kaum proletar.

Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986:24-25). Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme.

4. George Lukacs: Sastra Sebagai Cermin

George Lukacs adalah seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1979:31). Lukacs mempergunakan istilah "cermin" sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita "sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik" yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena idividual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah 'proses yang hidup'. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27).

Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh-sungguh sebagai karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber dari imajinasi-imajinasi yang diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak melainkan kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Jadi sasarannya adalah pemecahan kontradiksi melalui dialektika sejarah.

5. Bertold Brecht: Efek Alienasi

Bertold Brecht adalah seorang dramawan Jerman yang terhakar jiwanya ketika membaca buku Marx sekitar tahun 1926. Drama-dramanya bersifat radikal, anarkistik, dan anti borjuis. Sebagai seorang yang anti terhadap paham-paham realisme sosialis, ia terkenal sebagai penentang aliran Aristoteles. Aristoteles menekankan universalitas dan kesatuan aksi tragik dan identifikasi penonton terhadap pahlawan-pahlawan positif untuk menghasilkan 'katarsis' (pelepasan hehan) perasaan.

Menurut Brecht, dramawan bendaknya menghindari alur yang dihuhungkan secara lancar dengan makna dan nilai-nilai universal yang pasti. Fakta-fakta ketidakadilan dan ketidakwajaran perlu dihadirkan untuk mengejutkan dan mengagetkan penonton. Penonton jangan ditidurkan dengan ilusi-ilusi palsu. Para pelaku tidak harus menghilangkan personalitas dirinya untuk mendorong identifikasi penonton atas tokoh-tokoh pahlawannya. Mereka harus mampu menimbulkan efek alienasi (keterasingan). Pemain bukan berfungsi menunjukkan melainkan mengungkapkan secara spontan individualitasnya (Selden, 1991:30-32).

6. Aliran Frankfurt

Aliran Frankfurut adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis oleh Horkheimer dan Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan teori ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30). Dalam bidang sastra, estetika Marxis Aliran Frankfurt mengembangkan apa yang disebut "Teori Kritik" (dimulai tahun 1933). Teori Kritik merupakan sebuah bentuk analisis kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marx dan aliran Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah: Max Horkheimer, Theodor Adorno, Berhert Marcuse dan J. Habermas (Selden, 1993:32-37).

Seni dan kesusastraan mendapat perhatian istimewa dalam teori sosiologi Frankfurt, karena inilah satu-satunya wilayah di mana dominasi totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik pandangan Lukacs bahwa sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno, justru memberi kekuatan kepada seni untuk mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang ditunjukkan oleh seni-seni Avant Garde. Seni-seni populer sudah bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak mampu mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial yang ada. Mereka memandang sistem sosial sebagai sebuah totalitas yang di dalamnya semua aspek mencerminkan esensi yang sama (masyarakat satu dimensi).

Adorno menolak teori-teori tradisional tentang kesatuan dan pentingnya individualitas (paham ekspresionisme) atau mengenai bahasa yang penuh arti (strukturalisme) karena hanya membenarkan sistem sosial yang ada. Menurutnya, drama menghadirkan pelaku-pelaku tanpa individualitas dan klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, diskontinuitas wacana yang absurd, penokohan yang memhosankan, dan ketiadaan alur. Semuanya itu menimbulkan efek estetik yang menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam drama itu, dan inilah sebuah pengetahuan tentang eksistensi dunia modern sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi.

7. Teori-Teori Neomarxisme

Kaum Neomarxis merupakan pemikir sastra yang meneliti ajaran Marx (khusus pada masa mudanya), dan dengan bantuan sosiologi, ingin menjadikannya relevan dengan masyarakat modern. Mereka tidak mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin, dan Engels sebagai dogma politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap budaya dan ilmu. Kaum Neomarxis hanya mengambil ajaran Marx sebagai sumber inspirasi, khususnya dalam hal studi kritik sastra Marxis (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:115). Aliran Frankfurt, oleh beberapa pengamat dipandang sebagai salah satu bentuk teori Neomarxis. Tokoh-tokoh pentingnya antara lain Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien Goldman, dan Th. Adorno.

Neomarxisme lebih bersifat epistemologis daripada politis. Mereka menganut paham "metode dialektik". Sekalipun lingkup diskusi mereka sangat luas, lagi pula pandangan mereka tidak secara khusus diterapkan pada Teori Sastra saja, Th. Adorno meagemukakan bahwa ada empat gagasan pokok dalam pembicaraan aliran ini (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:134-135).

1) Metode dialektika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai totalitas masyarakat'. Penggunaan metode ini mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau masalah. Metode ini merupakan suatu bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari konteks sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek (seni) tertentu, mereka juga harus menguji objek itu yang ditempatkan sebagai subjek dalam masyarakat. Studi mereka dapat terfokus pada konteks historis, dengan melakukan observasi terhadap fenomena-fenomena serta harapan tertentu mengenai implikasinya di masa depan. Objek kajian metode dialektika tidak terbatas, karena masyarakat yang satu merupakan totalitas dalam dialektika kata.

2) Metode dialektik berorientasi pada hubungan antara konkretisasi sejarah umum dan sejarah individual. Konteks kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga masa depan. Masa depan memang terbuka untuk berbagai kemungkinan, namun dia ditentukan oleh intensi-intensi yang telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah. Setiap bidang (ilmu, politik, sejarah) selalu mengandung aspek teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan masa depan yang masih jauh.

3) Aspek teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara hukum kebenaran yang tampak dan kebenaran esensial. Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah yang dapat dikaji secara empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka kebenaran esensial. Jadi aspek teleologis memiliki identitas ganda terhadap suatu subjek: dapat mencapai kesadaran yang benar (yang lebih tinggi), tetapi dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang lebih rendah) tergantung pada konteks yang berbeda-beda.

4) Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek bahasa dan metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan nilai-nilai yang dilekatkan pada fakta itu. Subjek harus selalu menyadari posisinya dalam masyarakat. Identitas tidak lagi terletak di antara dua konsep, melainkan tergantung pada relasi subjek dan objeknya, antara proses berpikir dan realitasnya.

Berdasarkan metode berpikir dialektis tersebut, Fredric Jameson mengungkapkan bahwa hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari penelitian tentang latar belakang historisnya. Kita tidak hanya sekedar ingin menangkap nilai-nilai yang sempit pada permukaan (seperti dilakukan kaum New Criticism), melainkan harus dapat menemukan hubungan orisinal antara Subjek dan Objek sesuai dengan kedudukannya (Culler, 1981:12-13). Jadi hasil kritik dialektikal itu bukan hanya sekedar suatu interpretasi sastra, melainkan juga sejarah model interpretasi dan kebutuhan akan suatu model interpretasi yang khusus.

Dalam bukunya The Political Unconscious: Narrative As a Socially SimhoUc Act (1981), Jameson mengusulkan interpretasi politik terhadap sastra. Perspektif politik ini tidak merupakan metode pelengkap atau tambahan pada metode lainnya (seperti: psikoanalisis, kritik mitos, stilistika, etika, strukturalisme) melainkan suatu pandangan politik yang absolut. Dasar pandangannya adalah bahwa setiap teks mengandung resonansi sosial, historis, dan polios. Dengan persepsi bahwa cerita hanyalah permukaan sebuah teks yang menguhur sejarahnya yang hakiki, maka pentinglah analisis mengenai 'ketaksadaran politis' dalam teks-teks sastra. Dalam setiap teks tercakup beragam operasi mental sehingga pemahaman dialektikal pun sifatnya tidak mutlak. Metode dialektika menempatkan karya sastra sebagai subjek yang mengandung totalitas masyarakatnya.

Jameson mengungkapkan kekecewaannya terhadap paradigma dan ohsesi intelektual paham strukturalisme selama kurun abad kedua puluh, yang ingin memikirkan persoalan-persoalan hidup dan totalitasnya melalui sarana bahasa dalam teks sastra (Eagleton, 1983:97). Menurut dia, bahasa hanya akan menjadi semacam penjara bagi persoalan hidup dan totalitasnya karena hidup dan permasalahannya terlalu luas untuk diwadahi oleh sarana bahasa.

Menurut Jameson, sebuah karya individual selalu merupakan bagian dari struktur yang lebih besar. Dengan demikian bentuk dan struktur karya individual harus selalu dipahami dalam dimensi sejarah, yang secara dominan dilandaskan pada dasar (infrastructure) ekonomi. Sekalipun faktor-faktor yang memengaruhi pengarang menuangkan gagasannya sangat beragam, namun kekuatan-kekuatan itu mempunyai satu hasis utama, yakni ekonomi. Ekonomi dan efek-efeknya merupakan taktor utama yang melahirkan suprastruktur: budaya, ideologi, filsafat, agama, hukum, bahkan pemerintah dan negara.

Manusia selalu berada dalam situasi 'ketaksadaran politik. Teks-teks sastra pun mengandung ketaksadaran politik, yang menawarkan strategi bagi pengbilangan kontradiksi-kontradiksi sejarah. Pengarang individual seolah dihius oleh ketaksadaran politik ini, sehingga dia secara tidak sadar mengungkapkan modus-modus heterogenitas di luar teks. Heterogenitas sosial mengakibatkan keberagaman teks. Dengan demikian tidak ada suatu kerangka referensi yang pasti dan mutlak yang diperlukan sebagai model acuan bagi eksplikasi tekstual. Setiap teks membutuhkan kategori-kategori eksplikasi tertentu sesuai dengan kekhususannya, dan sifatnya pun hanya sekedar menggambarkan saat tertentu.

Terry Eagleton juga seorang kritikus Neomarxis yang berusaha meng-hidupkan kembali kritik Marx di Inggris dan menghasilkan kritik impresif terhadap tradisi kritik Inggris melalui revolusi radikal perkembangan novel Inggris (Selden, 1991:42). Tugas utama kritik sastra, menurut dia, adalah mendefinisikan hubungan antara sastra dan ideologi, karena sastra tidak merupakan cerminan kenyataan melainkan mengandung efek ideologis yang nyata (Selden, 1991:43).

Pada bagian penutup bukunyaLiterary Theory: An Introduction (1985:194), Eagleton menyebut teori-teori sastra modem yang 'murni' sebagai mitos airaftemik yang melarikan diri dari kondisi huruk sejarah modern. Teori-teori itu, ironisnya, justru menjadi pelarian dari realitas menuju sejumlah alternatif tanpa batasan. Mereka bukannya terlihat dengan situasi konkret manusia, tetapi melarikan diri kepada puisi itu sendiri, masyarakat organik (yang bulat dan utuh, bukannya terpecah-pecah), kebenaranabadi, imajinasi, struktur pemikiran manusia, mitos, bahasa, dan sebagainya. Bagi Eagleton, alternatif-alteraatif pelarian itu lebih merupakan penipuan. Secara ironis, Eagleton menilai teori-teori itu sebagai proyek kaum Scrunity (= peneliti yang cermat), yang sudah saatnya ditinggalkan karena sukar, abstrak, dan absurd (Culler, 1988:57-68). Secara umum, Eagleton merasa kecewa terhadap ideologi borjuis yang telah terbukti menelantarkan kaum miskin dan lemah ke dalam marginalitas sosial politik.

Sebagaimana Jameson, Eagleton juga mengusulkan kritik politik. Menurut dia, politik adalah semua cara pengaturan kehidupan bermasyarakat yang meli-hatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu terlihat ideologi tertentu. Teori kritik sastra harus mendefinisikan model ideologi tersebut. Asumsi dasamya adalah sastra secara vital terlihat dalam kehidupan konkret manusia dan bukan sekedar gambaran abstrak (1985:196).

Seorang peneliti sastra harus membongkar gagasan-gagasan kesusastraan dan menempatkan ideologi yang berperan membentuk subjektivitas pembaca, dan lebih jauh menghasilkan efek-efek politis tertentu yang harangkali tidak diharapkan (Selden, 1991:45). Dia melinat bahwa kebanyakan studi sastra memulai pendekatan secara benar, tetapi kemudian gagal dalam melihat relevansi sosial-politiknya, lebih-lebih karena tidak ada relevansinya sama sekali dengan ideologi. Kebanyakan kritik sastra justru lebih memperkuat sistem-sistem kekuasaan daripada menentangnya.

8 Rangkuman

Teori-teori sosiologi sastra mempersoalkan kaitan antara karya sastra dan 'kenyataan'. Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah yang paling tua usianya dalam sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori yang sudah dirintis oleh filsafat Plato (Abad 4-3 SM) tentang 'mimesis' itu baru mulai dikembangkan pada abad 17-18 — yakni zaman positivisme ilmiah — oleh Hippolite Taine dan berkembang pesat pada awal abad ke-19 dengan dicanangkannya doktrin Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels.

Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan menggunakan metode-metode ilmu pasti menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai hakikat karya sastra sebagai 'karya fiksi'. Teori-teori Marxisme, yang memandang seni (sastra) sebagai 'alat perjuangan politik' terlalu menekankan aspek pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra.

Pemikir-pemikir Neomarxis memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk mendefinisikan aspek ideologi, politik, dan hubungan ekonomi suatu masyarakat. Asumsi epistemologis mereka adalah bahwa sastra menyimpan sejarahnya yang sebenarnya dan menjadi tugas studi sastra untuk mendefinisikannya secara jelas.